Opini Santuy Tentang Buku "Usaha Mencintai Hidup" By Arman Dhani
Ini buku pertama Arman Dhani yang aku baca, setelah banyaknya artikel yang aku baca di mediumnya, ternyata membaca bukunya memberiku rasa baru.
Perasaan paling aneh yang aku rasain setelah menyelesaikan buku ini adalah perasaan campur aduk, dari iba, marah, kesal, sesak dan kehabisan energi.
Mungkin karena aku terlalu terbawa emosi karena tokoh “aku” dalam buku ini, mungkin juga aku kesal karena jangan-jangan aku enggan menyadari bahwa tokoh menyebalkan di novel ini adalah aku sendiri.
Ternyata tidak hanya orang jatuh cinta yang sulit menerima nasehat, orang patah hari pun demikian. Bagaimana menjalani hari tanpa seseorang yang kamu anggap akan selamanya bersama, dengan seseorang yang tidak pernah terbayangkan perpisahan, itu akan membuat luka paling hebat yang akan mempengaruhi hidupmu. Membuatmu menjadi orang yang mengurung diri, menghindari keramaian, dan membuatmu merasa ingin hilang.
Buku ini menceritakan tokoh “aku” yang berupaya menjalani hidup setelah perpisahan dengan seseorang. Tokoh “aku” disini berhasil membuatku geregetan, ternyata gak hanya orang jatuh cinta aja yang bisa jadi rese’, orang patah hati pun juga bisa demikian menjengkelkan. Sepeti kata pak Fahrudin Faiz, ada beberapa ciri-ciri orang yang jiwanya sedang lelah yaitu sensitif dan mudah marah, nah kamu bisa menemukan hal itu di karakter “aku” dalam buku ini.
Tapi setelah membaca dari bab 1 ke bab lainnya, aku berusaha memahami karakter “aku” di buku ini. Menjadikan pelajaran, saat teman atau orang terdekatku yang berubah menjadi sensitif atau menjengkelkan, mungkin keadaannya sedang tidak baik-baik saja, dan berusaha menjadi teman seperti Bara (sosok teman karakter “aku” di buku ini) yang tetap peduli dan menerima keadaan kawannya yang penuh luka.
Bisa jadi juga, jangan-jangan karakter “aku” ini adalah kita, yang tiba-tiba tidak sadar menjadi orang yang menjengkelkan, sensitif dan mudah marah. Tapi poin utama yang ingin sekali aku highlight setelah aku membaca buku ini adalah sepahit apapun kehidupan yang kita punya bukan berarti kita punya alasan untuk jadi orang brengsek atau menyakiti orang lain, untungnya karakter “aku” disini menyadari hal itu, misal karakter “aku” disini tidak berusaha memperbaiki hubungannya dengan orang lain mungkin akan kubakar buku ini saking emosinya wqwqwq.
Selain itu, jika kamu sudah merasa tidak bisa menanggung semuanya sendirian, hal yang wajar ketika kamu membutuhkan orang lain atau bahkan bantuan profesional seperti psikolog/psikiater yang pasti dan membatumu untuk merasa lebih baik.
Dalam buku ini juga terdapat kutipan-kutipan yang aku yakin akan menamparmu (bagi jiwa-jiwa yang sedang patah hati), ada juga resep-resep makanan yang kelihatannya enak juga referensi tempat makan di Jogja seperti kata Arman Dhani di pengantar buku ini “aku berharap jika tidak bisa membantumu pulih, buku ini bisa membantumu memutuskan hendak makan apa di Jogja”.
Setelah membaca buku ini aku jadi sadar, ternyata aku gak bisa sehari menghabiskan buku lebih dari satu, karena aku butuh waktu untuk menerima akhir dari buku yang kuhabiskan, perlu waktu untuk memulai lagi, dan perlu waktu untuk melupakan cerita sebelumnya. Duhh, kelemahan pembaca yang terlalu baper, bku sedih yang kubaca bisa mempengaruhi mood. Hari setelah aku membaca buku ini selama 3 jam lamanya, aku merasa seperti melihat orang yang kucintai bahagia dengan orang lain, rasanya getir betul.
Komentar
Posting Komentar