Semacam Review Buku "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas"

 


Buat manusia yang kurang menyukai keramaian, toko buku adalah pilihan terbaik untuk charge energy selain tidur. Meski tak ada niat untuk membeli, cukup melihat buku berjejer di rak dan membaca tipis-tipis buku yang sudah terbuka, itu cukup membuat hati ini bahagia, meski lebih bahagia lagi kalau bisa bawa pulang sih hehe. Tapi dasarnya saya lemah iman, jarang sekali saya pergi ke toko buku dan pulang tidak membawa apa-apa, entah karena pengen banget beli buku, sekedar pengen atau bahkan akibat rasa gak enakan yang menjadi penyakit bawaan saya. Seringkali saya beli buku tanpa sengaja, berawal dari iseng tanya ke penjaga toko tentang buku penulis favorit saya, lalu mas-mas penjaga langsung mencarikan buku yang saya maksud, nah disitulah penyakit saya kambuh, “kasihan masnya udah repot-repot nyariin” batin saya. 

Dan seperti itulah pertemuan saya dengan buku Eka Kurniawan yang berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Buku yang tanpa sengaja saya beli, mas-masnya udah repot-repot nyariin karena keisengan saya yang bertanya “ buku Eka Kurniawan yang judulnya ini ada mas?” karena saya sudah baca review dan sampul belakang buku di Internet jadi saya kepo barangkali ada buku yang sudah terbuka, ditambahin lagi iming-iming mbak-mbak penjaga lainnya yang bilang ada diskon 30%. Saya yang lemah iman ini langsung iya-iya aja, tapi saya mencoba mengelak dengan sedikit protes (biar gak jadi beli) tentang sampul buku yang bergambar para pemain film (karena buku ini sudah difilmkan dan saya tidak terlalu suka dengan buku dengan sampul muka orang/artis), saya bertanya “buku yang sampulnya asli gak ada ya mbak?”, mbaknya bilang gak ada, dalam hati saya bilang “yess!!” ada alasan buat gak jadi beli buku, tapi mbaknya seperti sudah membaca pikiran saya dan seraya berkata “tapi mumpung lagi diskon lho mbak”, hanya berjarak beberapa detik saya langsung mengeluarkan dompet dan membayar.

Dalam perjalanan pulang, saya agak nyesel karena buku yang saya beli bergambar muka-muka pemain film, tapi saya juga menenangkan diri dengan bilang pada diri sendiri “gapapa, bukunya kan diskon”. Nyampek rumah saya langsung buka bukunya, and surprise ternyata sampul yang bergambar wajah pemain film itu hanya lapisan kertas bagian luar, bukunya tetep sampul asli, rasanya terharu banget plus seneng poll. Merasa gak salah pilih keputusan dalam hidup yang penuh kefanaan ini wqwqwq.

Tapi eh tapi, ketika say abaca buku di lembar-lembar pertama saya langsung kaget dan membatin “loooh piye to kiii”. Saya berekspektasi tinggi dengan buku ini, saya kira buku ini membahas permasalahan pemerintahan yang kurang lebih seperti Buku Laut Bercerita (karena waktu itu lagi seneng-senengnya baca buku dengan topik tersebut), hanya karena say abaca ada kata “Rezim” di sampul belakang, juga ada kalimat “Burung yang memilih tidur” saya kira kata “burung” itu kata kiasan untuk hokum pemerintahan (emang kejauhan mikirnya wkwkwk). Oh ternyata, buku ini sangat jauh dari ekspektasi. Saya menertawai kebodohan saya sendiri, jelas-jelas di sampul belakang sudah jelas terdapat tulisan 21+ dan review dari beberapa pembaca, tapi otak saya yang terlalu kosong ini tidak menyangka akan sejauh itu.

Buku ini memang vulgar, sesuai dengan sampul belakang, untuk 21+. Meski umur saya melebihi itu, tapi buku ini not my cup of tea. Bagus, tapi not my type. Saya berjanji dengan diri sendiri, setiap saya membeli buku saya memiliki kewajiban untuk menghatamkannya, karena itu bentuk dari apresiasi bagi uang yang sudah saya keluarkan. Meski kurang suka dengan bahasa yang dibawakan dalam buku ini, saya mencoba untuk membacanya sampai habis, dan saya akhiri dengan kalimat “hah? Kok ngene?”. 

Saya mencari-cari pesan moral dari buku ini, dengan permasalah secara garis besar terletak di “burung” Ajo Kawir. Saya bingung, dengan apa yang say abaca. Apalagi konflik yang terjadi pada Ajo Kawir dan Iteung, lalu saat Ajo Kawir memakinya “Lonte!!” saya sangat setuju dengan ungkapan si Ajo Kawir, cinta macam apa yang diusung dalam novel ini?, saya bingung, saya berpikir Iteung itu brengsek betul (tapi gak mau spoiler, biar kalian beli bukunya hehe). Buku apa ini ya Allah, batin saya. Yasudah, mungkin saya memang bukan pasar dari buku ini. Tapi beberapa bulan setelah saya membaca buku ini, saya membaca thread di twitter tentang masalah pelecehan. Ternyata apa yang dilakukan Iteung adalah akibat dari efek trauma saat ia menerima kejadian buruk di hidupnya, efek trauma yang jarang sekali diangkat di social media, ternyata semenyeramkan itu yaa. Saya langsung merasa bersalah kepada Iteung, rasanya pengen salim saking merasa bersalahnya. 

Ternyata buku Eka Kurniawan bukan hanya sekedar novel vulgar dan permasalahan burung belaka, ada beberapa isu yang diangkat, hanya saja saya terlalu butuh banyak waktu untuk menangkapnya. Isu atau permasalahan masyarakat kelas menengah ke bawah yang dibicarakan di sini mungkin terlihat sedikit absurd, tapi bukan tidak mungkin bisa terjadi di kehidupan nyata. 

Pesan dan makna dalam buku memang dapat ditafsirkan secara berdea-beda oleh setiap pembaca, dalam buku ini, saya melihat bahwa si tokoh utama dengan permasalahan utamanya berhasil berdamai dengan keadaan, kita akan belajar menerima takdir setelah segala cara yang pernah kita coba untuk mengubahnya. Di dunia ini, manusia yang paling damai adalah ia yang bisa menerima, dan pada akhirnya Ajo Kawir belajar banyak hal dari sang Burung. Di tengah permasalahan yang ia hadapi, ternyata kekerasan bukan menjadi jawaban yang pasti dan hanya akan menambah permasalahan baru yang akan memperkeruh keadaan.

Itulah pandangan saya pada buku ini, saya sangat menikmati bukunya, meski pada awalnya saya bingung dan masih mencari-cari apa yang mau disampaikan Eka Kurniawan dalam buku ini, dan pada akhirnya saya mengerti, saya paham meski gak langsung “ngeh” saat itu juga, buku ini keren. Untuk para ukhti tidak disarankan membaca buku ini, kalian lebih disarankan membaca sirah Nabi Muhammad dan kisah-kisah istri dan sahabat nabi saja yaa. Saya pun jika disuruh baca ulang insyaAllah kapok wkwkwk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Letter For My "Orang Aneh"

Doa yang Tertunda, Ustadz Hanan Attaki

Opini Tentang Buku "The Mirror of Mohammed" by Abdul Ghaffar Chodri