Menua dan Tetap Takut

Akhir-akhir ini otak saya dipenuhi dengan hal-hal duniawi, sepertinya saya memang sudah menua, dimana uang menjadi sangat penting dan mendominasi. Saya sering merenung, isi kepala saya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian saya jawab sendiri, berdebat lalu berdamai, isi kepala saya terasa sangat ramai, cuman hati saya saja yang sepi apasih. Kegiatan merenung seringkali saya ritualkan ketika saya sedang dalam perjalanan panjang, waktu momotoran pulang ke rumah misalnya, atau sekedar muter-muter kota kalau sedang gabut.

Tadi malam, saya mengobrol dengan guru spiritual teman saya, satu-satunya nama teman yang selalu muncul di kepala saya ketika ada beberapa keputusan yang perlu saya ambil. Kami ngobrol banyak, tentang duit, cicilan, bos rese, pekerjaan yang numpuk dan balik ke duit lagi. Ada beberapa hal baru yang saya ketahui, yakni sebuah tehnik untuk menekan beban. Sebuah ilmu yang ia ambil dari perkumpulan om-om berbau duit, dan saat mendengarnya saya cuman bisa niup keong, cuman "hah hah" doang. 

Umpatan-umpatan tipis mewarnai percakapan kami, tentu dengan gelak tawa untuk menutupi hati yang tengah menjerit dan otak yang mulai mengepul padahal tidak sedang memasak apadah. Beberapa menit setelah telephon kami tutup, saya membatin "kami benar-benar sudah menua". Saya masih ingat beberapa tahun lalu, isi percakapan kami hanya sebatas skripsi yang macet, tethek mbengek shooting ecek-ecek, podcast gajelas dan impian-impian idealis khas anak muda. Lantas tadi malam, adalah sebuah gambaran yang menyadarkan saya bahwa saya telah menua, ternyata saya benar-benar sudah memasuki fase manusia dewasa. Selama ini saya terlalu banyak haha hihi dan berkumpul dengan bocil, sehingga otak saya tetap kerdil dan masih penuh dengan banyak ketakutan rencana masa depan.

Dengan banyaknya hal yang tidak saya ketahui, teman saya nyeletuk "makanya bersosialisasi, jangan jadi manusia introvert". Hmmm saya juga baru sadar, di tahun-tahun terkahir ini saya memang jarang mengobrol dengan manusia.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Letter For My "Orang Aneh"

Doa yang Tertunda, Ustadz Hanan Attaki

Opini Tentang Buku "The Mirror of Mohammed" by Abdul Ghaffar Chodri