Menua dan Sendirian
Semenjak saya bekerja di EO dan basically lebih sering ke WO alias pengabdi manten (sebuah sebutan dari kawan saya bagi para pekerja jasa yang berhubungan dengan manten), saya lebih banyak bertemu orang, tentu dengan berbagai latar belakang dan cerita yang mereka bawa. Pekerjaan ini menuntut saya untuk banyak ngobrol dengan klien, karena membuat mereka nyaman dan merasa aman adalah tugas utama bagi pekerja penyedia jasa seperti kami. Saya harus ngajak ngobrol dulu, saya harus banyak senyum, dan yang terpenting saya harus jadi pendengar yang baik.
Pada dasarnya manusia itu suka sekali ngobrol, kalo sudah nyaman, kalo dianya cuek ya lu bisa ambil kesimpulan sendiri kan? HAHA. Tapi itu memang benar, manusia itu suka ngobrol, enggak tua enggak muda, semuanya suka kalo didengerin.
Nah! dengan banyak ngobrol sama orang lain, banyak juga cerita-cerita yang saya tampung, dari yang seneng, sedih dan sedih banget. Tentu saya tidak mengingat semuanya, kita juga paham otak juga secara otomatis menghapus data-data yang kurang penting, dan jika kita masih mengingat suatu hal, berarti itu sudah dilebeli "berkesan" bagi otak kita.
Dari sekian banyak cerita, saya lebih banyak mengingat yang sedih, apalagi yang sedih banget. Saya masih ingat betul ketika ada ibu salah satu klien yang berbisik pada saya "ini terakhir saya mantu mbak, sebentar lagi saya sendirian, cuma sama bapak di rumah", mendengar itu mata saya berkaca-kaca, saya langsung ingat ibu di rumah dan membatin "apakah ini yang dirasakan setiap hati orang tua yang melepas anaknya untuk menikah?", tapi selang beberapa menit ibu itu menarik tangan saya lagi dan berbisik "tapi gapapa mbak, saya juga seneng banget lihat anak saya menikah".
Di balik sebuah pernikahan, selain rasa bahagia juga banyak perasaan-perasaan lain yang mengikuti. Pernikahan tidak hanya melibatkan yang dinikahkan tetapi juga yang menikahkan. Tidak sedikit cerita-cerita sedih yang saya dengar, seperti klien yang ditinggal mempelainya, orang tua yang rela hutang demi wedding dream anaknya, juga orang tua yang merasa berhasil karena sudah menikahkan anaknya. Banyak sekali cerita bahagia yang saya dapat.
Semenjak saya bekerja disini dan lebih sering mengobrol dengan orang yang lebih tua, saya jadi sedikit mengerti sudut pandang orang tua terhadap anaknya. Ada banyak hal yang membuat saya termenung dan saya jadi lebih bisa memaklumi pendapat yang seringkali tidak sama antara saya dengan orang tua saya. Seorang anak harus penuh degan kehatian-hatian dalam berbicara, juga orang tua yang harus lebih bayak lagi mendegarkan. Terlebih lagi kita harus sadar bahwa orang tua itu baru pertama kali menjadi orang tua, harus terus belajar dan enggak ada habisnya.
Komentar
Posting Komentar