Kiat-kiat Menghadapi Pertanyaan "Kapan Nikah?" Saat Lebaran


Momen lebaran tidak selalu berkesan baik bagi tiap insan di dunia, bahkan ada yang merasa sedih saat mendengar takbir, entah karena tidak punya uang yang cukup untuk dibagikan ke saudara-saudara atau karena tidak kuat hati mendengar pertanyaan-pertanyaan menyebalkan dari mulut sanak saudara, ya meski tidak sampai dibilang sedih tapi perasaan cemas itu cukup membuat kita murung dan ndongong beberapa hari sebelum akhirnya idul fitri benar-benar datang.

Dulu saat awal pandemi datang, tepatnya tahun 2020, saya sangat gembira sekali mendengar kebijakan larangan pemerintah untuk mudik (saya tidak pernah se-Pro ini dengan pemerintah), jiwa introvert saya salto karena saking girangnya, dan tentu saja saya tidak perlu pusing-pusing mendengar pertanyaan "kapan nikah?", apalagi saat itu saya sudah sewang-sewangan (meskipun belum benar-benar putus). Dengan keadaan bathin yang tidak baik, bukankah pertanyaan "kapan nikah" akan terasa seperti garam yang sengaja diwur-wuri di atas luka bathin saya? membayangkannya saja saya bisa mbrebes mili.

Tapi semakin saya tua dewasa, saya kira perasaan-perasaan itu terlalu berlebihan. Bukankah hari raya idul Fitri adalah hari kemenangan yang patut dirayakan dan memang harus dirayakan, bukan malah diratapi. Yaa memang ada beberapa hal yang nyebelin, tapi toh apa itu akan mengurangi kasih sayang Tuhan yang telah memberi karunia ampunan besar-besaran di hari raya idul fitri ini?, kita kembali fitri lho ini, kamu tahu gak fitri?, mustahil jika temanmu gak ada yang namanya fitri.

Dulu saya memang sangat terganggu dengan pertanyaan "kapan nikah?", pertanyaan itu seperti menghantui saya apalagi semenjak saya lulus kuliah. Pertanyaan yang membuat saya jengkel dan merasa mereka ikut campur lalu mengobok-obok kehidupan pribadi saya. Kebencian saya terhadap pertanyaan-pertanyaan yang bersifat privasi membuat saya menjadi manusia yang sinis, memang saya tidak pernah memaki siapa-siapa yang melontarkan pertanyaan itu, tapi senyum tipis saya sudah cukup untuk membuat orang kicep jika dia peka (yang tidak peka saya rasa tidak sadar jika saya sedang tersinggung). Tapi yaa beginilah hidup, kita betul-betul tidak bisa terhindar dari apa-apa yang tidak kita suka, kita hanya bisa mencoba menghidari saja. Maka dari itu yang pelu kita atur adalah apa yang ada dalam diri, sebab tidak mungkin kita mengatur mulut orang lain untuk tidak bertanya apa yang tidak kita suka, toh mereka juga punya hak bicara, emangnya kita rakyat? yang hak bicaranya mulai dibatasi, eh.

Terhitung 2 tahun saya bersikap sinis dan melebeli manusia tidak punya sopan santun bagi siapa-siapa yang bertanya hal-hal sensitif seperti pertanyaan kapan menikah, gaji berapa dan lain-lain yang bersifat privasi, saya menganggap orang-orang tersebut sudah melewati batas kehidupan orang lain alias ikut campur. Tapi semakin saya menua, saya perlahan bisa mengatur diri untuk bersikap woles. Saya lebih memilih melihat sisi positif dari pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu untuk ditanyakan itu, ketika mendapat pertanyaan "kapan nikah?" saya anggap itu sebuah doa dan saya seringkali menjawab "akhir tahun", sebuah jawaban asal-asalan yang barangkali terdengar seperti doa dan tiba-tiba terkabul, siapa tahu. 

Saat mendapat pertanyaan "mana nih cowoknya", seringkali saya menjawab "lagi otw" sambil ketawa, jika manusia yang peka maka mereka akan sadar bahwa nih anak masih jomblo deh jadi mending diem aja, tapi jika ketemu manusia yang sedikit ngeyel maka dia akan menimpali lagi "otw dari mana?" lalu mudah saja saya menjawab "gatau, coba tanya Allah", tentu dengan nada kelakar tipis-tipis biar ndak tegang dan tidak bikin orang tersinggung (saya yang dipojokkan tapi saya masih berusaha memikirkan perasaan orang lain). Lalu ada pula yang lebih ngeyelan lagi dengan ditambahi embel-embel "ayo cepetan, nunggu apalagi, kan udah besar!, keburu tua lho!", lah kalau manusia-manusia seperti ini sudah halal untuk diseplak diskak tapi tentu tetap pertahankan unggah-ungguh alias sopan santun. Kalau sudah merasa sangat terpojok bisa dijawab seperti "waah, om/tante semangat betul, mau nyumbang berapa juta nih?", saya yakin dengan jawaban tersebut pasti bikin orang-orang akan cari topik lain seperti "cicak di rumahmu ada berapa ekor?".

Pertanyaan-pertanyaan yang kita anggap mengganggu, terkadang hanyalah pertanyaan tulus dari sanak saudara yang ingin membuka pembicaraan dengan kita yang sudah lama tak jumpa, hanya saja pertanyaan itu terlontar bulat-bulat tanpa dibungkus dulu, lalu kita menelannya dengan perasaan yang kurang enak dan jadilah thread trauma-trauma saat lebaran (yang sedang rame akhir-akhir ini). Dari banyaknya pembahasan tentang pertanyaan-pertanyaan saat lebaran, tentu ada pro dan kontra, yang membuat saya tersentuh adalah tulisan Arman Dhani, coba baca sekali lagi, Arman Dhani bukan Ahmad Dhani, ini tulisannya "klik". Tulisan ini semakin membuat saya lebih woles dan woles lagi, lebih sabar dan sabar lagi, lebih banyak memandang sisi positif dari segala sudut. Coba baca deh, kalau setelah membacanya kamu tidak tersentuh, ya berarti kamu cuma baca judulnya saja, hayo ngaku!.





 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Letter For My "Orang Aneh"

Doa yang Tertunda, Ustadz Hanan Attaki

Opini Tentang Buku "The Mirror of Mohammed" by Abdul Ghaffar Chodri