Jika Patah Hati Anak Laki-laki Adalah Kehilangan Ibunya, Maka Patah Kaki Anak Laki-laki Adalah Kehilangan Ayahnya
Judul ini berasal dari ketikan jari teman laki-laki saya, yang saya ganggu istirahatnya karena otak saya tiba-tiba kosong jika dihadapkan dengan layar laptop. Saya selalu merasa bersalah jika satu minggu penuh saya tidak menghasilkan karya apapun, rasanya seperti tidak melakukan sholat subuh. Maka dari itu saya sering memaksa diri untuk menulis, meski tak jarang selalu berakhir bengong di depan layar.
Tadi malam, judul di atas menjadi topik menarik dalam percakapan kami. Judul yang awalnya terasa sangat ganjal, karena saya salah membaca. Otak saya memang sedikit lambat, tapi teman yang baik hati ini selalu menjelaskan dengan baik pula, "baca pelan-pelan" ungkap teman saya. Lebih dari tiga kali saya membaca, tetap saja saya tidak paham (karena kaki tetap saja saya baca hati). Akhirnya teman saya menjelaskan dengan wajah tersenyum paksa dan napas yang ditarik sedemikian rupa (seperti sedang yoga), baru otak saya bisa nyambung, Alhamdulillah. Dan saya menghargai itu, saya selalu menghargai orang-orang yang dengan sabar menjelaskan suatu hal yang sulit saya pahami, meski saya tahu di lubuk hati yang paling dalam mereka berteriak "jiiaamput!!".
Setelah saya memahami judul tadi, saya langsung jatuh cinta dengan kalimatnya, rasanya seperti membaca puisi Aan Mansyur. Saya suka sesuatu yang baru, dan kalimat ini sungguh baru bagi telinga saya. "Jika Patah Hati Anak Laki-laki Adalah Kehilangan Ibunya, Maka Patah Kaki Anak Laki-laki Adalah Kehilangan Ayahnya", selain mengandung bawang, kalimat itu juga mengandung kebingungan-kebingungan, yang tentu dirasakan anak-anak yang sudah kehilangan.
Saya pernah mendengar kalimat yang menyentuh dari kawan saya, seperti ini "semua boleh pergi, kecuali ibu". Setiap anak pasti bisa memaknainya, apalagi kecenderungan anak laki-laki yang lebih dekat dengan seorang ibu dibanding ayah. Dalam film teman saya yang berjudul "Risalah Batin", ia menggambarkan keresahan yang dimiliki anak laki-laki yang hidup tanpa adanya seorang ibu di rumah. Ia menggambarkan jarak yang dirasakan anak laki-laki dan seorang ayah, karena menurutnya seorang ibu adalah sebuah jembatan untuk komunikasi antara anak laki-laki dan seorang bapak (yang sama-sama hemat ngomong dan gengsian). Satu lagi yang saya ingat tentang sebuah kehilangan, ketika teman saya yang lain bilang "setelah kehilangan sosok ibu, hal-hal buruk lain setelahnya menjadi seperti masalah sepele".
Sadar tidak sadar, kalimat-kalimat yang saya dengar tadi seperti pill penguat bagi mental gudhir seperti saya, yang suka sedih dan pesimis. Ketika saya memiliki masalah, saya selalu ingat wajah-wajah teman saya yang sudah kehilangan. Saya putar ulang rekaman ingatan saya saat melihat teman saya tersenyum menyambut kami di pemakaman ibunya, saya ingat ketika saya dipeluk teman saya yang baru saja mengkafani ibunya dan dengan tenang ia berkata "aku ikhlas", saya juga ingat betul saat teman saya meminta ijin sebentar untuk menghentikan pemakaman ayahnya karena ingin melihat wajah ayahnya untuk yang terakhir kali sebelum tertutup tanah. Ingatan-ingatan itu membuat saya menjadi sedikit lebih kuat, meski tidak sekuat kawan-kawan saya yang sudah mengalami kehilangan.
Lain lagi dengan pemilik judul ini, saya yakin betul dia tumbuh dengan baik meski tanpa tuntunan seorang ayah di beberapa tahun terakhir. Saya pernah lancang bertanya mengapa pemikiran yang ia miliki jauh diatas anak-anak seumurannya, dan dia dengan tenang menjawab "jika bapakku masih ada, mungkin aku tidak akan sedewasa ini".
Hidup yang kita jalani bukan sepenuhnya milik kita. Seperti kata Dea Anugrah bahwa kita hidup di dunia ini tidak pernah tanda tangan kontrak, kita tidak pernah minta, tidak pernah memilih dan tidak ada persetujuan sebelumnya. Maka dari itu, orang-orang yang paling beruntung adalah orang yang paling lapang hatinya, yang tidak pernah merasa sesak.
Tapi dalam percakapan kami, dewasa ini ada beberapa hal yang berimbas kepada anak laki-laki ini. Ada perasaan bingung saat menghadapi suatu hal yang tidak pernah ia lihat dari yang dicontohkan seorang ayah, seperti pengambilan keputusan atau hal-hal yang lebih rumit lagi. Layaknya patah kaki, yang berjalan lebih lambat dari yang lain.
Ada kutipan yang saya sukai dari tulisan Dea Anugrah pada esai yang berjudul Hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya. Kutipannya seperti ini "Tidak ada bukti faktual bahwa dunia bertujuan, dan kita tinggal di dalamnya tanpa pernah meneken kontrak tanda setuju. Namun, kita bisa menikmatinya sebagaimana adanya. Kita dapat bersandar pada banyak alasan dan berkata, tanpa berteriak, bahwa hidup ini layak dijalani: musik, sepakbola, humor, belas kasih, cinta.... Dan dari pemahaman yang demikian, harapan bisa terus lahir".
Seperti kalimat saya tadi, bahwa manusia yang paling bahagia adalah yang bisa menerima. Sungguh beruntung manusia-manusia ini, yang memandang kesedihan hanya sebatas batu krikil. Bahkan kawan-kawan saya punya grup "anak yatim dan piatu", yang diisi oleh kawan yang tidak memiliki bapak atau ibu atau bahkan dua-duanya. Mereka sering berkelakar tentang senioritas menjadi yatim atau piatu. Mungkin kita melihatnya sebagai dark jokes, tapi lihatlah mereka, ia menertawakan takdir dan sudah pasti mereka menerimanya dengan baik. Maski kita tidak tahu apa yang ada di masing-masing hati yang katanya sudah menerima, tapi ini lah hidup, yang tidak mengenal kontrak dan penerimaan adalah muaranya. Bagaimana lagi, ya karena Hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya.
Gila sih judulnya, baguss
BalasHapusTerimakasih, saya sampaikan ke yang bikin judul 🙏😁
HapusBaru baca karena tertarik sama judulnya, sangat mewakili anak yang pernah kehilangan
BalasHapusTerimakasih, semoga semakin menguat 👍
Hapus