Dunia Ideal Di Mata Manusia Yang Putus Asa
Pagi ini saya kembali menyekrol beranda twitter, untuk melihat pertikaian-pertikaian si paling benar. Membaca masalah-masalah yang muncul di time line membuat pagi saya sedikit pusing, mungkin juga karena belum sarapan hehe. Tapi, dengan berita-berita buruk yang berserakan saya membatin "wes pancen akhir jaman!!", dimana kebenaran dan kebohongan terlihat seperti upin ipin, mirip sekali.
Beberapa hari terakhir, selain hebohnya berita wanita pengendali hujan, ada berita tentang seorang ibu yang membuat hati saya teriris. Seorang ibu mencoba menggorok ketiga anaknya, sayangnya satu dari mereka benar-benar meninggal dunia dan dua diantaranya kritis. Saya merasa sangat marah, bagaimana manusia bisa tega membunuh anak kandungnya, sedang seekor ibu harimau yang kelaparan saja tidak akan punya inisiatif untuk menglethak kepala anaknya. Lha ini manusia lho, guendeng pek!! gak mashok akal blass!
Saya larut dalam kemarahan, saya terus scroll untuk menemukan argumen-argumen yang mendukung kemarahan saya, hingga saya menemukan sebuah video dimana ibu tersebut ditanyai alasan mengapa ia membunuh anak-anaknya. Dengan wajah pucat dan tatapan yang tidak bisa saya jelaskan, ibu itu menjawab "Saya menyelamatkan anak saya biar gak dibentak-bentak, harus mati biar gak sedih biar gak sakit kayak saya". Begitulah kurang lebih pernyataannya, seketika saya terdiam dan otak saya tiba-tiba mengingat tulisan Dea Anugrah atas kasus bom bunuh diri yang dilakukan seorang ibu bersama anaknya yang berumur 9 tahun, dalam tulisannya "Saya kira, Puji Kuswati sama seperti kebanyakan ibu di dunia ini dalam satu perkara: dia menghendaki yang terbaik buat anaknya. Dia ingin si anak berada dalam situasi di mana segalanya sempurna. Dia mencari yang ideal, yang tak ada, dengan cara yang dianggapnya paling jitu dan masuk akal"
Mengharapkan dunia yang ideal memang mengerikan, tapi lebih mengerikan lagi adalah manusia yang putus asa. Saya jadi ingat ayat Tuhan yang melarang hambanya untuk berputus asa, ternyata imbasnya begitu fatal. Di mata manusia yang putus asa, semuanya akan menjadi gelap dan pilihan-pilihan yang mereka ambil adalah sebuah akhir, entah akhir dalam bentuk apapun.
Dea Anugrah juga menulis "Kalau tak putus asa, dia pun bisa mengingat perasaan-perasaannya ketika
mendengar kata pertama yang diucapkan putrinya; ketika tahu bahwa
dirinya mengandung; ketika jatuh cinta buat pertama kali; dan ketika
dia, dengan muka berlumuran bedak, bermain lompat tali dengan
kawan-kawannya di teras rumah, sementara ibunya berseru-seru dari dalam:
“Hati-hati, Nak, hati-hati, jangan sampai jatuh!”". Sungguh hangat tulisan blio, andai tidak putus asa, ada banyak hal sederhana yang akan bisa menjadi alasan baik.
Terlepas dari rasa putus asa yang menggelayut di batin ibu itu, saya membaca sebuah thread pendek dari tetangga ibu tersebut yang mengungkapkan bahwa ibu dalam berita tadi sebenarnya terlihat baik-baik saja setiap harinya, mengurus ketiga anaknya yang masih kecil-kecil, mengajarinya dengan sopan jika bertemu orang lain, seperti tidak ada masalah apapun. Tapi siapa sangka, ternyata ibu itu mendapat tekanan dari mertua dan kurangnya dukungan dari suami, mungkin hal ini yang membuat kejiwaanya terguncang. Terbayang begitu berat menjadi seorang ibu yang menanggung segalanya sendirian.
Sebenarnya kasus pembunuhan anak oleh ibu kandung bukan hanya berita ini saja, sebelumnya saya juga pernah baca berita tentang seorang ibu muda yang membekap anaknya yang masih bayi hingga tewas karena jengkel bayinya menangis terus. duhh gusti, ngelus dodo
Memang tidak heran, dukungan dari orang lain terutama pasangan juga berpengaruh untuk kesehatan mental seorang ibu dengan segala kesulitan-kesulitan yang ia miliki, apalagi ini adalah pertama kali ia menjadi seorang ibu, ia juga masih belajar dan mencoba yang terbaik. Saya tidak membela pelaku dan saya sama sekali tidak membenarkan perbuatannya, tapi dari kasus ini saya bisa belajar banyak hal.
Memanasnya kasus ini, bapak panutan saya Dea Anugrah ikut bercuit di twitter "Jadi Bapak itu berat, tapi jadi ibu itu brutal. Kalau ada laki-laki yang merasa beban keduanya sepadan, coba itu kau punya pentil dibeset dulu, baru ngomong lagi". Melihat cuitan blio, saya tidak berani menambahkan apapun, karena saya rasa twit blio sudah cukup mewakili. Jikapun ada laki-laki yang bilang demikian, saya siap bantu beset pentilnya!!.
Komentar
Posting Komentar