Begini Rasanya diFollback Dea Anugrah

Sebagai manusia yang suka menulis dan tidak terlalu suka membaca, memiliki panutan di dunia kepenulisan adalah sebuah alternatif untuk mengakali diri sendiri agar demen membaca. Karena memiliki hobi menulis dan tidak suka membaca, sama saja seperti sayur tanpa garam. Memang kelihatannya sepele dan tidak memiliki dampak apapun dari luar, tapi jika dirasakan dan diterawang sungguh akan mengurangi rasa yang itu hanya kita sendiri yang paham. Karena kalo soal rasa, lidah tidak pernah bohong wqwqwq

Waktu di Jakarta, saya bertemu dengan seorang teman yang tanpa sengaja dalam obrolan kami dia bilang jika dia suka menulis, tentu saya sangat senang menemukan seseorang yang sehobi, kalo kata anak jaman sekarang dibilang sefrekuensi. Tapi sayangnya, ketika teman saya menyebutkan penulis-penulis favoritnya, reaksi saya hanya alis yang hampir menyatu. Saya bingung dengan nama-nama yang dia sebut, sedangkan yang saya kenal di kalangan penulis hanya Tere Liye dan Habiburrahman El Shirazy. 

Seketika saya melihat raut kekecewaan di wajah teman saya, mungkin dia mbathin "kukira suhu, ternyata cupu". Semenjak saat itu saya sedikit minder jika ditanya soal hobi, saya minder jika saya bilang hobi saya menulis, saya takut dikira pintar dan suka membaca, padahal kan hobi saya cuma suka bacot doang, bedanya lewat tulisan.

Sampai pada akhirnya, saya hanya membaca buku-buku dari penulis yang saya kenal tadi, novel-novel dari Tere Liye dan Habiburrahman. Lambat laun pengetahuan saya sedikit bertambah, saya mulai mengikuti penulis-penulis lain yang sefrekuensi dengan bacaan yang saya suka sebagai cah cidro, saya mengenal Boy Candra, Genta Kiswara, Brian Krisna, Nawang Nidlo Titisari, Tsana (Rintik Sedu).

Tapi meskipun begitu, keinsekyuran saya masih tetap bertahan. Memang saya jadi lebih berani mengaku hobi saya menulis dan ketika ditanya penulis favorit, saya sudah bisa menjawab dengan menyebut beberapa penulis yang saya kenal seperti diatas. Sayangnya, kawan saya yang lebih senior tentang dunia kepenulisan sempat protes dengan bacaan yang saya sukai, "cinta-cintaan teroooss, bacaanmu lho marakne gak berkembang". ingin saya menjawab " Hash mboh!! Salaah teroooss", tapi karena saya anak yang menghindari geger gedhen, saya lebih memilih mengangguk dan mengacungkan jempol.

Bertahun-tahun saya tetap egois dengan prinsip yang saya pegang, membaca sesuai dengan genre yang saya suka, wes gak ngurus cocote uwong pokok e. Sampai pada akhirnya, ada satu momen dimana saya tidak sengaja menemukan tulisan bapak Dea Anugrah di internet. Saya tidak ingat betul tulisan apa yang saya baca waktu itu, tapi saya sudah jatuh cinta di tulisan pertama yang saya baca, bahkan dari kalimat pertama. Genrenya jauh berbeda dengan apa-apa yang saya suka, tapi kalimat-kalimatnya membuat saya masuk dalam cerita, dan saya sangat menyukainya.

Ini bukan pertama kali terjadi, sebelumnya saya sudah pernah kepincut tulisan Aan Mansyur. Juga jatuh cinta pada bacaan pertama. Bagi saya, tiap penulis punya ciri khas dan daya tariknya sendiri-sendiri, dari diksi, komposisi dan nyawa yang ditaruh di dalamnya.

Mengenal tulisan-tulisan Dea Anugrah, dari berbagai bacaan di internet dan buku-buku yang tiba-tiba saya borong padahal saya sedang tidak punya uang waktu itu, membuat saya menjadi sedikit rajin membaca. Setidaknya, dengan membaca tulisan Dea Anugrah, saya mempunyai style lain dalam menulis. 

Saya juga suka cerita-cerita Dea Anugrah di podcast dan beberapa unggahan video di Youtube saat beliau menjadi presenter di acara Distrik, membuat saya ingin meniru segala hal yang bapak Dea lakukan. Jiwa muda saya bergejolak, saya jadi rajin menulis dan membaca, meski masih sebatas membaca karya-karya beliau. Tapi setidaknya, setelah saya mengenal Dea Anugrah, saya jadi tahu di dunia ini juga ada penulis hebat Ernest Hamingway yang sering bapak Dea sebut ketika mendapat pertanyaan buku yang menginspirasi dirinya menulis. Lihat, saya sudah lebih maju sedikit kan? hehe

Saya suka cara pandang pak Dea Anugrah memandang dunia, saya merasa seperti punya teman untuk berpesimistik ria. Apa-apa yang diceritakan dari bapak Yuma ini menjadi menarik bagi saya, baik itu cerita sederhana seperti kebiasaan bersama istrinya atau sindiran tipisnya terhadap pemerintah. Semenjak saat itu, saya menjadi aktif di Twitter setelah sempat vakum selama 1 tahun karena menghindari mantan teman-teman toksik.

Sekarang, saya kembali aktif menjadi anak Twitter dan menjadi follower setia bapak Dea. Dengan begitu, saya dapat membaca tulisan-tulisan pak Dea secara gratis, sambil menunggu novel pertamanya terbit, so excited yeeeyy . Juga sesekali ikut nimbrung di kolom komentarnya, meskipun tidak pernah dibalas wqwqwq. Tapi pagi tadi, seperti biasa saya ikut-ikut nimbrung di sebuah thread pendek yang pak Dea buat, saya berkomentar seperti ini.

Komentar itu saya ketik dengan perasaan penuh terimakasih atas tulisan-tulisan yang sudah bapak Dea buat, jadi perihal novel pertama yang tidak menang dalam lomba bukanlah masalah besar bagi pembaca yang selalu menunggu apapun bentuk karya dari seorang Dea Anugrah. Entah merasa terharu atau bagaimana, setelah komentar itu saya kirim, selang beberapa menit ada notif yang membuat mood saya bagus hari ini. Bagaimana saya nggak ndrenges sepanjang hari, lha wong SAYA DI FOLLBACK DEA ANUGRAH. Ini Dea Anugrah lho yang ngefollback, penulis terkenal lho ini, 44k followers, kok ya ndelalah mampir di akun saya terus ngefollback, semoga saja nggak kepencet ya pak Dea. Sumpah ngueriii, saya  merasa menjadi manusia yang paliing beruntung hari ini, saya juga merasa terhormat di follow penulis yang digadang-gadang menjadi penulis masa depan, harapan bangsa nih bosque.


Iki lhoo buktine reeeekk, tak capture biar dunia tahu kalau saya difollback Dea Anugrah, dan saya juga bisa pamer ke anak saya nanti. Intinya matur suwun pak Dea Anugrah atas follbacknya, ya misal salah pencet, mbok ya jangan diunfoll, soalnya saya sudah bikin tulisan ini di blog hehe. Oh iya, kan sudah difolbek nih, semoga kedepannya bisa berkesempatan wawancara langsung bapak Dea Anugrah, apalagi kalo bisa ngepodcast bareng, duuuhhh gusti piye rasane. Saya enggak kemaruk kok ya Allah, saya hanya tama' sedikit, hehe.


 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Letter For My "Orang Aneh"

Doa yang Tertunda, Ustadz Hanan Attaki

Opini Tentang Buku "The Mirror of Mohammed" by Abdul Ghaffar Chodri