Saat Itu Saya Sudah Siap Menghadap Tuhan
Semasa Kuliah saya cukup trengginas dalam mengikuti segala kegiatan di kampus, baik itu akademik maupun non akademik. Semacam balas dendam karena semasa SMA saya cukup pasif, hanya sekolah pulang sekolah pulang, dan sesekali ikut les Kimia dan Fisika karena terpaksa, sebab otak saya cupet jika dihadapan keduanya, juga menuruti ambisi saya yang harus bisa semua mata pelajaran. Semua pembalasan atas kepasifan saya semasa sekolah saya bayar waktu saya jadi mahasiswa. Meski berangkat pagi pulang malam, aku rapopo.
Semenjak saya aktif di Komunitas Perfilman di kampus, saya menjadi anak yang jarang pulang ke rumah, padahal jarak dari kost ke rumah hanya sekitar 1 jam setengah. Tapi yaa... seperti anak muda pada umumnya yang jarang merindukan rumah, sibuk dengan teman dan dunianya sendiri, saya juga turut larut dalam arus itu (dan sekarang sedikit menyesal).
Saat jadi mahasiswa saya berubah menjadi manusia yang super sibuk, bahkan di kost pun seperti numpang tidur, sekedar mandi dan sekedar mendengar "wes subuhan tus?" dari teman sekamar saya tiap dini hari. Saya juga sering keluar kota, rapat sampai malam, kurang tidur, juga sering lupa makan karena gak ada yang ngingetin, hiks.
Ditengah-tengah kesibukan saya yang ngalah-ngalahi presiden, ada satu momen dimana saya harus keluar kota untuk menghadiri acara tahunan kampus sebelah, tentu untuk menjaga tali silaturahmi di antara kami, alias cuci mata, hehe. Saya berangkat dengan rombongan teman-teman komunitas mengendarai motor, selain mengantongi uang yang ngepres, yang membuat saya nekat berangkat adalah karena saya sudah mengantongi doa ibu, seperti semboyan di beberapa bagian pantat truk.
Saya tidak memiliki firasat apapun waktu itu, dengan drengas-drenges saya berangkat menuju kota tersebut, mengingat kota itu sudah sangat lama tidak saya kunjungi, terakhir waktu rekreasi sekolah dasar. Saya juga sangat semangat karena kami akan reuni dengan teman-teman yang saya jumpai di Jakarta, saya ingin membayar rindu dengan tuntas.
Singkat cerita akhirnya kami sampai di kota itu, kami disambut dengan hangat oleh kawan-kawan kami disana. Kami bercerita banyak hal, nostalgia, berkenalan dengan kawan baru, dan mengikuti rentetan acara dengan penuh rasa bangga dan haru. Tanpa terasa kami sudah satu hari penuh berada di kota kenangan itu, dan pada malam harinya tepat tengah malam setelah kami nongkrong bersama, kami izin pulang. Tentu kami dicegah oleh tuan rumah, disuruh istirahat dan nginep dulu. Saya juga tidak ingat betul bagaimana kami bisa sepakat untuk pulang tengah malam dengan perjalanan antar kota sekitar kurang lebih 5 jam, wes ramashok akal blass.
Setelah engkel-engkelan dengan tuan rumah, akhirnya dengan berat hati mereka mengizinkan kami untuk pulang, dengan kalimat "ati-ati lho yo" yang diungkapkan berkali-kali oleh mereka, dan kami juga berulang kali menjawab "shiyaappp".
Tepat pukul 12 malam kami berangkat pulang, sungguh keputusan yang sembrono. Di perjalanan, dengan keadaan jalan yang lengang dan hawa yang dingin membuat mata saya berat dan sulit terbuka. Saya memang mempunyai kebiasaan buruk, yakni tidur di perjalanan tanpa pandang kendaraan apa yang saya naiki, baik itu pesawat, kapal laut, mobil, kereta, bahkan motor, saya selalu bisa dengan mudah molor. Hebatnya, saya seperti punya keahlian sendiri dalam mengendalikan tubuh saat tidur dibonceng motor. Selama pengalaman saya molor di motor, saya belum pernah terjatuh karena tertidur, alhamdulillah.
Tapi untuk perjalanan waktu itu, saya seperti kehilangan keahlian saya dalam menyeimbangkan tubuh. Motor teman saya sering oleng karena saya hampir terjatuh waktu tidur, dan dengan Pedenya saya langsung teriak "aku gak ngantuk, aku gak ngantuk" karena takut dimarahi. Melihat keadaan saya yang membuat khawatir alias ngerepotin, rombongan kami memilih untuk istirahat sebentar di Indoapril, sekedar tidur sak ser-an, ngopi dan ngudud tipis-tipis. Tentu saya memilih untuk tidur, karena mata saya seperti digelantungi tuyul, abot poll.
Setelah setengah jam kami istirahat, kami bermaksud untuk melanjutkan perjalanan. Tidak lupa teman-teman bertanya pada saya "wes gak ngantuk tus?", dengan drengesan saya menjawab "gak wes, aman-aman". Akhirnya kami melanjutkan perjalanan, dan tidak lama setelah itu... MAKK BREEEKKKK, terdengar suara yang sangat kencang. Benar, kami mengalami kecelakaan, dan sialnya motor yang menabrak truk adalah motor yang saya kendarai dengan teman saya.
Saya tidak ingat betul kejadian itu, yang saya ingat saya tidak tidur, benar-benar tidak tidur, saya hanya memejamkan mata menikmati udara sepertiga malam. Dan waktu motor kami menabrak bagian belakang truk, saya hanya ingat waktu kepala saya terbentur helm teman saya. Saya merasa dunia bergerak begitu lambat, seperti slowmotion saya perlahan membuka mata saya dan saya melihat bulan yang sangat terang. Saat mata saya melihat bulan yang penuh dan begitu terang, saya tiba-tiba jadi ingat Rasulullah (enggak tahu kenapa) dan detik itu juga saya langsung membaca syahadad. Saya memejam dan merasakan tubuh saya jatuh dari motor, tapi hati saya sudah merasa aman karena saya telah mengucapkan kalimat syahadad, bukankah salah satu dari keberuntungan umat muslim adalah bisa menyebut nama Tuhannya di penghujung nafas yang ia miliki?.
Waktu itu, saya sudah Pede meninggal dengan mengucapkan syahadad, merasa sudah siap menghadap Tuhan modal kalimat syahadad yang saya ucapkan, ternyata sampai detik ini saya masih bisa menuliskan cerita ini di blog. Alhamdulillah saya masih hidup, meski tulang hidung saya sempat retak dan menghabiskan biaya sekali panen (sambat ibu saya), padahal saya dulu sudah berharap bisa operasi plastik, biar bisa mancung hehe. Tapi dengan terapi tipis-tipis, hidung saya kembali lurus, meski agak sedikit pesok. Tentu tidak saya saja yang selamat dari kejadian berdarah itu, teman yang membonceng saya juga selamat, meski banyak jahitan di bibir, hidung dan pelipisnya. Peristiwa itu justru jadi bahan bullyan di pertemanan kami, seperti "kok gak sumbing pisan seeeh?!", dan dia menjawab "hee saiki lek tes helm ndek irunge Datus wae, lek gak pecah berarti SNI". Lalu kami hanya cekikikan mengingat helm teman saya yang hampir terbelah karena terbentur hidung saya.
Komentar
Posting Komentar