I Want to Dance, But I Can’t

 

Pesta karnaval musim semi, hewan-hewan menjadi pemberani, keluar dari sarang. Tupai-tupai terbangun dan melupakan tidurnya yang panjang, hari baru dimulai.

Dari kaki gunung rakyat bersorak, menerangi sudut-sudut hutan yang gelap, membiaskan suara jangkrik dan lolongan anjing liar, pun serigala.
Dari puncak istana ribuan lampion diterbangkan, berisikan ribuan harapan, melepasnya dengan senyum dan mengaharap ia kembali sesuai dengan apa-apa yang tertulis diujung yang terbang.

Dan aku, sibuk memasang sepatu kaca di kakiku yang lebam. Menata gaun terbaik yang kumiliki, berdiri lama di depan cermin dan meyakinkan diri untuk melangkah keluar seperti para hewan lain.

Ribuan kerlip lampu menyambut para tamu, karpet merah terbentang dari ujung istana seperti lidah naga. “bienvenue princesse" kata seorang pengawal tersenyum hangat mengulurkan tangannya untuk membantuku turun dari kereta kencana. Aku mengangguk pelan dan tentu tersenyum.

Lantai dansa penuh dengan berpasang-pasang cinta, bersemi.
Gaun-gaun memutar dengan lembut dan cantik, senyum mereka merekah seperti bunga-bunga baru. Musik seakan menempel pada hentakan kaki, mengayun indah seiring detik waktu.

Aku duduk di sudut, memegang erat segelas wine yang tak bermaksud kuminum. Dari ujung samar kulihat, senyum yang tak asing, senyum yang selalu ada di mimpiku setiap hari, dia datang, pangeran datang.
“Wanna dance with me?” Ia mengulurkan tangannya lembut. Sial, dia juga tahu bahwa aku tak mahir bahasa Prancis. “Non, merci” kataku sedikit cemas. “I know you will", masih dengan tatapan dan senyuman yang tenang. “I want, but i can’t, sorry” aku menunduk. “Hey, I hear a lot about you, you’re good at dancing" ia mengangkat wajahku pelan, senyumnya semakin hangat. “Sorry, i think you talk with the wrong person" aku membuka topeng yang membungkus sebagian wajahku. “Ow, sorry, i think you’re Cinderella” ucapnya panik lantas kepalanya sibuk mencari ke sekeliling, “sorry, i’ve to go, nice to talk with you" lantas ia melangkah pergi dengan mata yang sibuk mencari.

Aku menyingkap gaun dan memandang kakiku yang lebam, “maaf aku sudah memaksamu terlalu keras" ucapku lirih. Aku kembali memasang topengku, bukan karena peraturan pesta istana, tapi karena aku tidak ingin orang lain melihat air mataku, meski aku yakin tidak ada yang peduli.

Semesta selalu saja menyediakan kesempatan, dan aku selalu sebaik mungkin berusaha untuk pantas mendapatkannya, tapi pada akhirnya akulah yang tidak mampu dan berakhir dengan menyalahkan diriku sendiri. Andai aku bisa berdansa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Letter For My "Orang Aneh"

Doa yang Tertunda, Ustadz Hanan Attaki

Opini Tentang Buku "The Mirror of Mohammed" by Abdul Ghaffar Chodri