Aku dan Puisi

    


Kalau ditanya kapan pertama kali saya mengenal puisi, seingat saya ya waktu saya masih SD dulu, waktu pelajaran bahasa Indonesia, puisi yang saya baca dulu berjudul "Guruku", saat itu saya sudah tersentuh dengan bahasanya (meski saya lupa siapa penulisnya), dulu saya sudah diajari mengenal bait, sudah mengenal ritme, dan itu cukup menarik bagi Datus kecil. Tapi, dulu saya juga benci sekali dengan puisi, saya benci karena disuruh buat puisi sendiri, saya benci karena saya merasa kesulitan, perasaan itu lebih nyebelin daripada menghitung soal matematika yang enggak ada jawabannya. Lebih nyebelin lagi kalau disuruh baca puisi di depan, buat manusia yang tidak terlalu suka show up di depan, saya merasakan getaran yang begitu hebat alias ndredeg atau tremor atau gemeter atau sebangsanya itu lah. Kalau disuruh milih, dulu saya lebih milih bikin pantun tanam-tanam ubi tak perlu dibajek daripada bikin puisi yang harus mengumbar perasaan baik lewat tulisan atau saat membacakannya, saya dulu geli sekali, ya meski sekarang juga enggak terlalu suka (baca puisi) haha.

T-tapi kalau ditanya kapan jatuh cinta dengan puisi yaa saat pertengahan kuliah. Telat banget yak, ya begitulah, meski udah kenal lama kadang juga belum kepikiran buat jatuh cinta, sama kayak saya dan puisi, apadah. Jadi ceritanya gini, dulu pas lagi gabut di kost-an, temen kamar saya nawarin ikut lomba cipta puisi, saya mak deg kan jadinya alias kaget betul, saya yang gak pernah tahu dunia kepenulisan apalagi puisi yang pastinya gak asal-asalan bikinnya, tiba-tiba diajak ikut lomba. Tapi kata temen saya "lumayan nanti kalo menang bisa dapet buku gratis, atau enggak kalo jadi kontributor bisa dapet sertifikat", saya tergiur dengan omongannya karena yaa lumayan kalo dapet buku gratis atau minimal dapet sertifikat (waktu kuliah sertifikat dibutuhkan untuk persyaratan skripsian, meski ternyata enggak kepake sama sekali).

Saya yang tanpa bekal pengetahuan tentang puisi ini nekat betul ikut lomba, tapi Tuhan mengindahkan pengalaman pertama saya tentang berpuisi hingga saya terpilih menjadi kontributor di pengalaman pertama lomba cipta puisi (lumayanlah dapet sertifikat), sejak saat itu pula saya aktif ikut lomba puisi dan sering terpilih menjadi kontributor (meski gak pernah menang hihi). Bisa baca di sini untuk lebih detail tentang pengalaman berpuisi saya.

Lama saya tak berpuisi, pastinya kemampuan saya juga semakin menurun, sekarang saat disuruh bikin puisi satu bait saja, pusing betul rasanya. Maka dari itu, saat panutan saya mengirim pamflet tentang kelas kepenulisan puisi, saya langsung mengiyakan. Ikut kelas kepenulisan puisi rasanya seperti angin segar diantara kesibukan-kesibukan saya yang monoton.

 Di hari libur yang biasa saya buat gogoleran, kali ini saya membuatnya menjadi lebih produktif. Saya dengan semangat mengikuti kelas penulisan diantara mahasiswa yang masih muda belia dan segar isi kepalanya, saya yang sudah sepuh ini juga ikut nimbrung mengais ilmu-ilmu yang belum pernah saya pelajari sebelumnya. Rasanya seperti kembali muda lagi, berapi-api, ada perasaan hangat yang tiba-tiba muncul, juga perasaan setimentil mengingat suasana belajar waktu kuliah dulu. Saya juga membatin "ooh jadi ini rasanya duduk diantara orang-orang yang sefrekuensi membahas tentang tulisan seperti yang mas *ehem ceritakan di blognya saat masih kuliah dulu". Kelas terasa begitu sentimentil, entah karena temanya membahas puisi yang memang dekat dengan perasaan-perasaan sentimentil atau karena saya saja yang memang sentimentil. 

Sebelum masuk dalam materi inti, kami audiens ditanyai kapan pertama kali mengenal puisi, tentu saya bercerita seperti  paragraf-paragraf sebelumnya dan tidak lupa menyeret nama penulis favorit saya Dea Anugrah. Saya cukup kaget ketika ada salah satu audiens yang mengatakan bahwa ia mengenal puisi ketika masih kelas 3 SD, yang tak kalah mengagetkan ketika teman saya menceritakan awal pertemuannya dengan puisi.  Dia bilang bahwa dulu waktu masih kecil dia menemukan catatan ibunya yang berisi kumpulan puisi, dia melihat sisi lain dari ibunya, dia yang awalnya mengira bahwa ibunya adalah wanita yang kuat dan tidak pernah mengeluh tapi tidak dengan puisi-puisi hasil tulis tangan sang ibu. Saya jadi tercengang, bagaimana bisa saya tidak tahu cerita ini padahal kami sudah berteman selama 7 tahun. Mendengar cerita tersebut, saya jadi punya keinginan sederhana, saya ingin anak-anak saya kelak membaca tulisan-tulisan saya dan syukur-syukur bisa suka membaca karena saya. Sederhana sekali, saya ingin diceritakan seperti teman saya menceritakan ibunya.

Kemudian perasaan-perasaan baik itu mengerumun, dan sulit dijelaskan. Menurut mentor saya kemarin, mas Halim namanya, harusnya perasaan-perasaan saya yang tidak bisa dijelaskan tadi bisa menjadi puisi, karena perasaan yang gak bisa dibahasakan itulah puisi. Puisi sendiri menurut saya adalah suatu bentuk keindahan tata bahasa dan penyembunyian perasaan yang begitu rapi juga wadah yang sempurna untuk perasaan-perasaan yang tak beraturan. Saya yang tidak begitu suka menggambarkan perasaan saya secara gamblang, menjadikan puisi tempat saya bersembunyi, ahh jadi ingat masa-masa dimana dengan mudahnya saya menulis puisi hanya dengan sekali duduk, sekarang sulit betul rasanya meski hanya menulis satu kalimat saja.

Dengan mengikuti kelas kemarin, otak saya merasa lebih terbuka, juga lebih pusing. Banyak betul yang tidak saya ketahui tentang puisi, dan pertemuan seperempat hari kemarin sungguh sangat kurang, harusnya kelas kepenulisan diadakan selama 7 hari. Tolong siapapun yang punya info tentang belajar menulis bisa langsung hubungi saya yaa, bisa send massage di nomor kosong lapan... terusannya kapan-kapan hehe.

 

 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Letter For My "Orang Aneh"

Doa yang Tertunda, Ustadz Hanan Attaki

Opini Tentang Buku "The Mirror of Mohammed" by Abdul Ghaffar Chodri